Rabu, 31 Desember 2008

Memahami Makna Kehidupan

DIPUBLISH OLEH arifiyah PADA TANGGAL 20 Aug 2007KATEGORI: Tazkiyatun Nafs
Ada sebuah cerita fiktif. Ada seorang pemuda pekerjaannya mencari kayu bakar di hutan. Suatu saat tanpa terasa sang pemuda terlalu masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba dia bertemu seekor harimau. Seketika pemuda tersebut lari berbalik arah menuju kampungnya. Malang tak dapat di tolak sang pemuda tadi terperosok ke dalam sebuah lubang seperti sumur di pinggiran kampunya.
Beruntung pemuda tersebut tidak jatuh ke dasar sumur, karena adanya akar-akaran pohon yang menahan tubuhnya. Untuk sesaat sang pemuda tadi bernafas lega tidak jatuh ke dasar sumur dan lolos dari cengkeraman harimau. Sang pemuda mencoba naik kembali ke permukaan sumur, akan tetapi dia tidak jadi melakukannya karena sang harimau masih menunggu di atas sumur.
Tanpa sadar dia melihat ke dasar sumur, alangkah terkejutnya dia ketika melihat dasar sumur di penuhi oleh ular berbisa. Seandainya dia jatuh maka dia akan digigit ular berbisa, seandainya naik ke atas maka akan di makan harimau. Yang bisa dilakukan hanyalah menunggu dan berdoa.
Yang lebih mengejutkan lagi ternyata akar-akar yang menahan tubuhnya sedang digerogoti oleh binatang pengerat semacam tikus. Pada sisi kanan Tubuhnya sejenis binatang pengerat yang dominan berwarna hitam menggerogoti akar tersebut, sedang pada sisi kirinya binatang pengeratnya berwarna putih ( seperti hamster ).
Sang Pemuda semakin panik. Kalaupun dia tetap diam, akar-akar an pohon yang menahan tubuhnya pasti lama kelamaan akan putus karena dimakan tikus-tikus tersebut dan tubuhnya bisa terhempas ke dasar sumur di mana ular-ular berbisa sedang menunggunya.
Dia merasa sudah tiada lagi yang bisa dia lakukan. Tiba-tiba di atas sumur dia melihat adanya pohon yang rindang. Di dahan pohon tersebut nampak sarang lebah. Madu dari sarang lebah tersebut menetes ke dalam sumur.
Karena sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukan, Sang pemuda tersebut mengambil tetesan madu tersebut dan menjilatnya. Seketika dia merasakan lezat yang luar biasa. Dalam hitungan beberapa detik dia merasakan suatu kenikmatan yang luar biasa, sehingga dalam sesaat dia melupakan bahaya-bahaya yang sedang mengancamnya. Selama beberap detik dia lupa harimau di atas sumur, ular di dasar sumur dan tikus yang ada di sampingnya, sesaat dia melupakan semua itu.
Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah di atas. Harimau menggambarkan malaikat maut yang selalu mengintai kita. Ular menggambarkan siksa kubur yang sewaktu-waktu menanti kita. Tikus hitam dan tikus putih menggambarkan siang dan malam hari yang menggerogoti umur kita hari demi hari menuju kematian. Madu yang setetes menggambarkan kenikmatan dunia yang sedang kita nikmati sekarang. Kenikmatan harta, istri anak, jabatan, kekuasaan dll. Kenikmatan dunia yang sedikit dan sebentar ini ternyata mampu melupakan dan melalaikan kita semua. Melupakan adanya kematian dan siksanya yang menunggu kita.
Kita disibukan oleh urusan dunia sehingga melupakan belajar ilmu syar’i sebagai bekal kita di waktu yang abadi nanti. Asyik bekerja, menumpuk harta, memperindah fisik, terobsesi dengan pangkat dan jabatan, memperindah alat dan kendaraan-kendaraan yang kita miliki. Mengejar gelar dengan orientasi yang tidak jelas, pongah apabila memiliki gelar, tersiksa bila tidak memilikinya. Rutinitas dan kesibukan tersebut bahakan kadang-kadang membuat hati kita menjadi keras, na’udzubillah (kita berlindung kepada Allah) . Celakanya lagi pada puncaknya kesibukan itu kadang membuat kita merasa tidak mempunyai kelemahan dan kekurangan. Memandang sesuatu hanya dengan kalkulasi Cost Benefit. Masyarakat menjadi masyarakat yang tamak Greedy Society. Economic Value menjadi jargon yang senantiasa dijunjung tinggi. Sehingga jejak-jejak makna spiritual menjadi kabur dan menghilang. Kita seperti robot-robot yang berjalan, tanpa ruh. Kita seperti mayat-mayat hidup. Nampak seperti hidup tapi sebenarnya sudah mati sisi ruhiyahnya.
Kita semua paham semewah-mewah mobil yang kita miliki, tetap saja kendaraan masa depan kita nantinya hanyalah berupa keranda (kereta jenazah) yang beroda manusia. Sebanyak-banyak apapun rumah yang kita miliki, tetap saja rumah masa depan kita hanya berupa rumah tipe 21 (dua kali satu meter) berupa kuburan. Setinggi apapun jabatan dan pangkat kita, seterkenal apapun kita, maka biografi kita hanya lah berupa batu nisan yang menuliskan nama, tanggal lahir dan tanggal wafat kita.
Hidup ini hakikatnya adalah satu tarikan nafas dan satu hembusan nafas. Bila salah satu tidak bisa kita lakukan maka pada hakikatnya eksistensi kita sudah tiada lagi. Dan itu semua bisa terjadi sewaktu-waktu. Tidak ada yang bisa memberikan jaminan bahwa kita masih bisa menyaksikan terbitnya matahari dari timur besok pagi.
Taruhlah umur kita sekarang 30 tahun. Kalau seandainya Allah ijinkan kita hidup sampai 60 tahun, maka sisa umur kita tinggal 30 tahun. Satu tahun ada 365 hari, maka umur kita tinggal 30 x 365 hari. Total hari yang tersisa adalah 10.950 hari lagi. Sangat sedikit sekali waktu yang tersisa.
Untuk itu sebagai seorang muslim selayaknyalah kita bergegas. Hidup kita hanya sementara, sebentar sekali, maka jadikanlah seluruh aktifitas kehidupan kita yang teramat singkat ini sebagai sesuatu yang senantiasa menimbulkan kebaikan. Senantiasa menyibukkan diri dengan belajar ilmu syar’i dan hal yang bermanfaat lainnya, sebagai bentuk pengamalan dari hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam: “Tanda kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfa’at” (Hasan, Riwayat Tirmidzi) .-dari berbagai sumber-

-->
5 Responses to “Memahami Makna Kehidupan”
on 22 Sep 2007 at 1:27 pm kurogatsu
…seorang pemuda mendengar kisah tentang seorang bijak yang hidup di sebuah kita di pulau lain. jauh dari desa tempat ia tinggal.
semangat membara. ia menempuh ribuan mil. mengarungi lautan. menmpuh jalan tejal untuk menemui sang bijak.
lelah, kecapaian, ia sampai di gerbang kota tempat sang bijak tinggal. kota itu besar sekali. tampak sanget mengagumkan bagi pemuda itu yang sebelumnya tinggal di desa.
ia menemukannya. tempat tinggal sang bijak. salam, lalu melangkah masuk. menemui sang bijak yang duduk di tengah ruangan.
mendekat, lalu bertanya pada sang bijak. “beritahukan padaku rahasia kebahagiaan hidup…”
sang bijak hanya memberinya sebuah sendok, berisi minyak. lalu berpesan, “pergilah engkau mengelilingi kota. tapi jangan sampai minyak itu tumpah. setelah satu jam, kembalilah kesini….”
si pemuda patuh melaksanakan perkataan sang bijak. ia berjalan, pelan, terus memandangi sendok di tangannya. setelah satu jam, ia kembali.
sang bijak bertanya, “…ceritakan padaku, bagaimana keindahan kota ini…” pemuda hanya tertunduk dan menjawab, “…aku tak sempat menikmati keindahan kota ini, perhatianku hanya tertuju pada sendok di tanganku…”
sang bijak kembali memberikan sendok kecil berisi minyak. kembali berpesan,” pergilah selama satu jam, lalu kembali dengan minyak ditanganmu. tapi kali ini nikmatilah keindahan kota ini…”
pemuda kembali berkeliling kota. tertegun ketika melihat air mancur di tengah kota. bunga yagn merekah di taman. pohon rindang di tepi danau kecil di pinggir kota. setelah satu jam, ia kembali.
sang bijak bertanya, “ceritakan padaku bagaimana keindahan kota ini…” pemuda lalu bertutur tentang apa yang dilihatnya satu jam lalu. sang bijak kembali bertanya, “perlihatkan padaku munyak di sendok kecil yang aku titipkan padamu…” sang pemuda kembali tertunduk. ketika ia melihat minyak itu tidak lagi di tempatnya.
sang bijak berucap pelan, “…itulah rahasia kebahagiaan hidup. kau berkeliling memandangi seisi kota, namun tiada kehilangan minyak di sendok kecilmu…”
…blastoMETAMORPHOZE…

Nikah Muda dalam Pandangan Fiqih



.fullpost{display:inline;}
Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat. Bagaimana hukum Islam memandang kasus seperti ini?Diantara keistimewaan ajaran agama Islam adalah fleksibel, universal, rasional, sesuai dengan tempat dan zaman serta mudah diterima oleh khalayak, baik yang berkaitan dengan masalah ibadat, akhlak, muamalat, maupun yang berkaitan dengan hukum (aturan) pernikahan . Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal tersebut dianjurkan oleh agama, didorong serta dicontohkan oleh Baginda Nabi Muhamad SAW. Tepatkan asumsi tersebut? tulisan singkat ini dimaksudkan tak lain sekedar memberikan kontribusi tentang isu nikah muda (nikah dibawah umur) dalam pandangan agama, dalam kaitan ini fiqih Islam. Harapan semoga ajaran agama Islam ini yang sudah sangat indah, mudah, memiliki norma-norma kemanusiaan dan terhormat ini tidak diselewengkan dan diterapkan hanya untuk kepentingan pribadi tanpa mengindahkan norma-norma kemanusiaan serta etika-etika umum masyarakat lainnya. Usia Pernikahan Istilah dan batasan nikah muda (nikah dibawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas yaitu orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haidh) bagi wanita. Syariat Islam tidak mengatur atau memberikan batasan usia tertentu untuk melaksanakan suatu pernikahan. Namun secara implisit syariat menghendaki pihak orang yang hendak melakukan pernikahan adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa. Dan paham akan arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu shalat bagi orang yang melakukan ibadah shalat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Karenanya, tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. Kafa’ah Dalam fiqih islam ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan pernikahan, namun pertimbangan kafa’ah hanya sekedar sebagai anjuran dan dorongan agar pernikahan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga.Diantaranya adalah kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama). Juga seorang wanita intelektual (cendikiawati) tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidak setaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak dukung oleh syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut . Sedangkan kesetaraan dan persamaan dalam masalah keturunan, ras, kaya-miskin tidaklah menjadi masalah dalam agama Islam, karena Islam tidak memandang keturunan, suku bangsa serta miskin dan kaya. Miskin bukan merupakan cela (keaiban) dalam pandangan agama, yang cela hanyalah kekayaan yang didapat dari usaha ilegal dan kemiskinan akibat kemalasan. Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah RAAda yang berdalih bahwa nikah muda merupakan tuntunan Nabi SAW yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi SAW tidak permah mendorong dan menganjurkna untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah RA yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia pernikahan dengan alas an sbb: Pertama: pernikahan tersebut merupakan perintah dari Allah SAW sebagaimana sabda Rasul SAW, ”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua; Rasul SAW sendiri sebenarnya tidak berniat untuk berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili oleh Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul SAW, di mana mereka melihat betapa Rasul SAW setelah wafatnya Sayidah Khadijah RA istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam.Ketiga; Pernikahan Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah kewanitaan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi SAW melalui Sayidah Aisyah RA. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah RA sehingga beliau menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Keempat; Masyarakat Islam (Hijaz) saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda namun secara pisik maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Kita tidak memperpanjang masalah pernikahan ideal dan indah antara Rasul SAW dengan Sayidah Aisyah, jadikanlah itu sebagai suatu pengecualian (kekhususan) yang mempunyai hikmah penting dalam sejarah agama.Agama Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung pernikahan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak wanitanya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa toh agama Islam sendiri tidak melarang. Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasatmata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya. Dalam masalah pernikahan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah pernikahan. Yang diminta adalah kematangan kedua belah dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga adanya saling take and give, berbagi rasa, saling curhat dan menasehati antara kedua belah pihak suami istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan. Usia Pernikahan Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Pernikahan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.Dalam undang-undang pernikahan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan undang-undang Indonesia. Suriah, umpamanya menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk wanitanya jika sudah berusia 16 tahun (Undang-undang Pernikahan Suriah, pasal 16).Menurut hemat penulis apa yang telah dibuat oleh undang-udang hendaknya mendapat dukungan dari semua pihak khususnya para da’i serta hendaknya dapat menjadi contoh baik dengan mengedepankan hal-hal yang telah menjadi standar dalam syariat dan bukan mencari hal-hal kontroversi yang menjadikan orang-orang menjadi bertanya-tanya bahkan yang lebih parah lagi meragukan kebenaran syariat, papatah (kata mutiara) Arab mengatakan “Semoga kerahmatan senantiasa tercurahkan bagi orang berusaha menghidarkan dirinya dari hal-hal yang menjadi cemoohan (omongan negatif) dalam masyarakat.” Penulis sama sekali tidak mengklaim batalnya atau tidak sahnya pernikahan usia muda, penulis hanya menekankankan bahwa agama Islam tidak mendorong hal tersebut dengan berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas!.
Diposkan oleh Fasta267-Attanwir di 22:47

Selasa, 30 Desember 2008


Arti Sebuah Cinta
Ditulis pada Oktober 29, 2008 oleh mumtazanas
Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.
Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.
Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya dari shahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan: “Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”
Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)
Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.
Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: “Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:
“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”
Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik rahimahullah:
“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:
Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)
Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)
“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Adapun dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”
Macam-macam Cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:
Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.
Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)
Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)
Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)
Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.
Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menyatakan: “Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)
Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.
Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.
Wallahu a’lam.Sumber:
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=128

CUKIPUI??? WHAT'S THAT???

Cukipui???? cukipui!!!! cukipui?!?!?!? apaan tu? cukipui adalah sebuah kata yang rajin diucapkan oleh salah satu pokemon teman pikachu... cukipui adalah lambang kelucuan... itu pentinggggg...


pokemon yang berteriak cukipui adalah pokemon yang lucu, n smua suka,